Rameteo - Tampaknya perubahan perlahan menuju bencana yang akan menghilangkan sebagian kawasan Jakarta ini tak disadari sebagian besar warganya. Firdaus Ali, pengajar Fakultas Teknik Universitas Indonesia dan pendiri Indonesia Water Institute, mengungkapkan, “Di sini orang belum sadar bencana kalau tidak melihat jatuhnya korban atau robohnya gedung.”
Jakarta, kota padat dengan luas sekitar 661 kilometer persegi, merupakan salah satu kota pesisir di dunia yang rentan tenggelam. Berdasarkan pengamatan Firdaus atas Bumi yang memanas, setiap tahun, muka air laut di Teluk Jakarta naik sekitar 0,5 sentimeter. Namun, tenggelamnya kota ini bisa dipercepat dan diperparah dengan turunnya muka tanah rata-rata sepuluh sentimeter setiap tahunnya. “Itu hitungannya sudah jelas,” ujarnya bersungguh-sungguh. “Itu angka yang cukup optimistis.”
“Tempat berdiri kita sekarang ini dulunya adalah laut,” ungkap Firdaus di kantornya, kawasan Tanjung Barat, Jakarta Selatan. “Sekitar 4.000 tahun lalu, pinggir laut kita ada di Ciputat.” Akibat erosi dan sedimentasi, terbentuklah delta yang kini bernama Jakarta. Lantaran delta, usia tanahnya pun muda, sehingga mengalami proses pemadatan yang ditandai turunnya muka tanah.
Kini, laju penurunan muka tanah Jakarta kian gawat. Penyebabnya, pemompaan air tanah dalam yang tak terkendali—krisis air—oleh industri dan gedung-gedung perkantoran besar. “Jika kita tak segera melakukan sesuatu,” ujarnya memberikan skenario, “pantai Jakarta akan berada di Semanggi pada 2050. Dan, pada 2060 pantai berada di sekitar Blok M!”
Namun, jika pemerintah daerah menghentikan pemompaan air tanah dalam, laju penurunan tanah dapat dikurangi. “Kalau muka tanah turun, dan kita kendalikan,” ungkapnya, “pada 2050 pinggir pantai berada di Harmoni.”
Fakta membanjirnya air laut ke daratan sudah terjadi di kawasan kampung pesisir Jakarta, seperti Penjaringan, Muara Baru, dan Cilincing. Bahkan, warga Kamal Muara kini terbiasa dengan banjir rob setiap hari—pagi dan sore. Sementara, bertambahnya daerah genangan saat banjir 2013 dan amblesnya sebagian ruas jalan di Jakarta Utara beberapa tahun lalu adalah indikasi penurunan muka tanah, demikian hemat Firdaus.
Apakah berarti Ibu Kota harus segera dipindahkan? “Kita tidak mau meninggalkan sejarah buruk kepada anak-cucu kita,” ujarnya. “Memindahkan ibu kota tanpa membenahinya terlebih dahulu adalah pecundang. Itu kejahatan yang luar biasa!”
Menurutnya, solusi terakhir adalah pembangunan tanggul raksasa di Teluk Jakarta. Wacana tanggul yang mencakup kawasan reklamasi pantai seluas 5.100 hektare ini memang sedang dikaji oleh pemerintah daerah. Paling cepat, tanggul raksasa itu terwujud pada 2025. “Kita pun bisa memperluas atau menambah daratan,” ujarnya. “Kalau kita punya tanggul ini, persetan dengan skenario tadi.”
“Kita hidup dalam risiko bencana ekologi perkotaan,” kata Firdaus. Soal kebijakan lingkungan, utamanya, kelemahan negeri ini terkait pada sistem dan mekanisme birokrasi. Menurutnya, ada tiga kunci untuk memperbaikinya: kepemimpinan yang solid, kemampuan dan kerelaan berkoordinasi, dan penegakan hukum yang tidak pandang waktu dan bulu.
“Kita beruntung sampai detik ini Jakarta aman,” ujar Firdaus lirih. “Tuhan masih sayang pada kita.”